REAKSI SOSIAL TERHADAP KEJAHATAN DAN PENJAHAT
Reaksi Represif dan Reaksi Preventif
Reaksi Refresif adalah suatu aksi yang
diberikan atas adanya peeristiwa kejahatan, artinya kejahatan yang terjadi,
masyarakat melalui lembaga penegak hukum akan memberikan rekasi negative berupa
tindakan penegak hukum terhadap pelaku kejahatan. Lembaga penegak hukum sebagai
suatu lembaga yg diberi mandate oleh msy, dalam bereaksi tehadap kejahatan
tidak lepas dari keberadaanya sebagai suatu system, yakni system peradilan
pidana.
Polisi sebagai ujun tombak system
peradilan pidana adalah unsur yang langsung
berhadapan dnegan masyarakt. Dengan demikina, polisi merupakan lembaga
penegak hukum yg pertama bergerak memberikan reaksi represif apabila terjadi
peristiwa kejahata di masyarakat. perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan
dilakukan dengan penyidikan, penangkapan, penahanan terhadap yang bersalah,
memeriksa, menggeledah, melakukan penyitaan, serta menyerahkan atau melimpahkan
berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Berdasarkan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)
ditetapkan bahwa POLRI adalah penyidik tunggal. Artinya, tidak ada aparatur
lain kecuali POLRI yang dibebani tugas kewajiban melakukan pemeriksaan
pendahuluan, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang yang dikeluarkan
pemerintah.
Laporan, pengaduan ataupun informasi
masyrakat adalah pemritahuan kepada yg berwajib, yakni kepolisian Negara
tentang tentang adanya kehatan atau diduga senterjadi tindak pidana atau yg
tekah selesai.
1. Laporan
ialah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
2. Pengaduan ialah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindak menurut hukum, seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikan.
Antara
laporan dan pengaduan terdapat persamaan yakni kedua-duanya merupakan
pemberitahuan kepada pihak yang berwenang.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan,
sebagai salah sato sspek kajian Kriminologi, dapat terwujud secara formal
sebagai sistem peradilan pidans namun juga dapat terwujud secara informal,
antara lain melalui beragal upaya pencegahan kejahatan yang dilakukan secara
swakarsa oleh masyarakat. Kedua bentuk reaksi terselut, baik formal maupon
inormal, merupakan perwujudan dari upaya (menciptakan) pengamanan masyarakat.
Pencegahan
Kejahatan Sebagai Usaha Pengamanan Masyarakat
Para pakar Kriminologi pada zaman dahulu
mengartikan pengamanan masyarakat (social defense) secara sempit, yaitu bahwa
pengamanan masyarakat merupakan usaha secara legal untuk melindungi masyarakat
dari gangguan kejahatan yang diwujudkan dengan memberikan hukuman
terhadap
pelanggar hukum. Pemberian hukuman ini juga dikenal sebagai penal policy.
Ancel (1954), seorang kriminolog dan juga
seorang hakim di Perancis, menegaskan bahwa dalam menjelaskan pengamanan masyarakat (social defense)
tidaklah mudah karena ada bermacam pengertian, bahkan sering kali berbeda dan
bertentangan.
Secara langsung atau tidak langsung,
tindak pengamanan masyarakat, menurut konsep tersebut, akan membuka peluang
terjadinya pengabaian hak hak asasi manusia khususnya bagi pelanggar hukum. Hal
ini dimungkinkan karena tindak pengamanan masyarakat yang demikian, terlalu
memfokuskan diri pada masalah penghukuman.
Lebih
jelas lagi, Marc Ancel menyajikan butir-butir penjabaran tentang konsep social
defense
atau
pengamanan masyarakat itu, sebagai berikut.
1. Bahwa
pengamanan masyarakat yang diartikan sebagai cara penanggulangan kejahatan
harus dipahami sebagai suatu sistem yang tujuannya tidak semata-mata menghukum
atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum, tetapi juga
pada perlindungan hak masyarakat dari gangguan dalam bentuk apapun juga, termasuk
kejahatan.
2. Pengamanan
masyarakat dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan masyarakat secara nyata
melalui berbagai macam langkah di luar hukum pidana. Usaha ini lebih bertujuan
untuk menetralisir pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat dan cenderung
untuk menghindari peran hukum pidana.
3. Pengamanan
masyarakat mengarah pada upaya memajukan kebijakan penghukuman yang lebih
mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan masyarakat dalam bentuk
pencegahan kejahatan.
4. Keterkaitan
dengan proses pemasyarakatan hanya akan dapat dijalankan apabila ditingkatkannya
sifat kemanusiaan pada hukum pidana.
5. Hukum
pidana yang bersifat kemanusiaan dan hukum acara pidana yang berhubungan dengan
sifat-sifat kemanusiaan itu bukan semata-mata hasil dari gerakan sentimental
emosional manusia, tetapi juga merupakan pemahaman ilmiah tentang kejahatan dan
pelaku kejahatan (penjahat) sebagai pribadi.
Untuk
mencapai tujuannya
Pengamanan
masyarakat mempunyai penataan sistem sendiri agar dapat berjalan dengan baik,
yaitu dengan cara:
1. melakukan
pendekatan terpadu atau yang disebut sebagai metode;
2. membina
hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat yang keduanya merupakan
subjek dari segala aktivitas pengamanan masyarakat;
3. menciptakan
situasi aman sebagai objek pengamanan masyarakat.
Strategi
Pencegahan Kejahatan
Walaupun pencegahan kejahatan telah lama
dianggap sebagai salah satu objek utama dari politik kriminal, ia tetap
merupakan suatu batasan konsep yang tidak jelas dan dianggap buruk. Akan lebih
tepat untuk mendiskusikan pencegahan kejahatan sebagai suatu pendekatan ata
model yang mungkin dapat diterapkan daripada menganjurkan sebuah teor: tentang
pencegahan ejahatan itu sendiri. Ini dilihat dari pertimbangan praktisnya.
Graham (1990), memberikan batasan
tentang pencegahai kejahatan sebagai sesuatu usaha yang meliputi segala
tindakan yang mempunyai tujuan khusus untuk memperkecil lingkup dan mengurangi
kekerásan suntu pelanggaran baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan
untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha mempengaruhi orang-orang yang
secara potensial dapat menjadi pelanggar serta juga kepada masyarakat umum.
Mengikuti pendapat Brantingham dan
Faust, Graham, (19y0y kemudian menganjurkan pembagian strategi pencegahan yang
utam atarn tigs kelompok berdasarkan pada model pencegahan keaktifan umum, yang
meliputi (a) pencegahan primer, (b) pencegahan sekunder, (e) pencegahen
tertier.
Pencegahan
primer ditetapkan sebangai strategi péncegahan kejahatan melalui
bidang sosial, ekonomi dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum, khususnya
sebagai usaha untuk mempengaruhi situasi-situasi kriminogenik dan sebab-sebab
yang mendasar dari kejahatan. Tujuan utama dari pencegahan primer ini adalah
untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memberikan harapan bagi keberhasilan sosialisasi
bagi setiap anggota masyarakat.
Pencegahan
sekunder binsanya ditemui dalam kebijnkan
peradilan pidana dan pelaksanaannya. Pencegahan sekunder dapat
berupaipencegahan umum dan pencegahan khusus yang meliputi identifikasi din
dari kondisi- kondisi kriminogenik dan upaya-upaya yang mempengaruhi kondisi
tersebut.
Peran
preventif dari polisi diletakkan dalam pencegahan
sekunder, begitu pula pengawasan dari mass media, perencanaan perkotaan, serta
desain dan konstruksi bangunan. Asuransi pribadi terhadap pembongkaran,
pencurian, dan sebagainya juga diletakkan dalam katagori pencegahan sekunder.
Sedangkan
pencegahan tertier sangat memberikan perhatian pada pencegahan
terhadap residivisme melalui peran polisi dan agen-agen lain dalam sistem
peradilan pidana. Segala tindakan dari pencegahan tertier ini dengan demikian
berkisar dari sanksi-sanksi peradilan informal dan kondisi bayar utang bagi
korban atau juga sebagai perbaikan pelanggar serta hukuman penjara.
Klasifikasi
Pencegahan Kejahatan
Ada
tiga masalah mendasar yang timbul nkibat adanya usaha pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier untuk menyesuaikan diri dengan
model kesehatan masyarakat, yaitu:
1. Pertama,
masalah yang perkaitan dengan lingkup wilayah kajian apa saja yang harus
dicakup serta apa saja yang harus disisihkan. Model kesehatan masyarakat adalah
suatu model yang sangat luas cakupannya dan oleh karenanya berbahaya untuk
memberikan batasan yang sangat luas bagi pencegahan kejahatan.
2. Kedua, masalah yang berkaitan dengan apa yang
seharusnya dicakup dalam masing-masing tingkat pencegahan
3. Ketiga, masalah yang berkaitan dengan sifat
model kesehatan masyarakat yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip ilmiah
dan dapat dijelaskan secara medis. Kecenderungannya adalah melihat suatu hubungan
melalui pendekatan ilmu pasti. Dalam mengkajà masalah kejahatan maka hal ini
cenderung akan mengalami kesulitan, apabila hubungan atau korelasi kriminologik
dipandang sebagai suatu hubungan yang pasti.
Didasari atas konsep pemikiran di atas
serta menyangkut pernyataan bahwa strategi pencegahan kejahatan haruslah lebih
bersifat teoritis praktis maka beberapa ahli memutuskan untuk membagi
pencegahan kejahatan ke dalam tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan sosial,
(2) pendekatan situasional, (3) pendekatan kemasyarakatan.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan
sosial biasa disebut seuagai (Social Crime Prevention), segala
kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan késempatan
individu untuk melakukan pelanggaran.
Yang menjadi sasarannya adalah populasi umum (masyarakat) ataupun
kelompok-kelompok yang secara khusus mempunyai resiko tinggi untuk melakukan
pelanggaran.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan
situasional biasanya disebut Situational Crime Prevention, perhatian
utamanya adalah mengurangi kesempatan individu atau kelompok untuk melakukan pelanggaran.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan
kemasyarakatan sering disebut sebagai Community based Crime Prevention,
biasanya semua langkah atau tindakan yang diambil ditujukan untuk memperbaiki
kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas
mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal.
Pernyataan yang terlalu congkak aau
implan yang terial sagi ini menurut Empey dan Lamar (1974), pada skhimys dapat
dieakliukkhd rm yang menyangkut hal-hal yang diangoy eprle cleh imian utopia.
Hal hal yang fidak terkendali, kegagalan, dan kejahatan dapat mengat kehidupen manusia
tetapi pengawasan fidak pernah dapat lebih behadl dui seketer menjaga kejahatan
pada tingkat yang dapat diterima (agat ditleri) dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu Wheeler (1974) meyaan bahwa kejahatan ditemui pada tingkat yang
bervariasi dalam masyakat moden, khususnya pada masyarakat perkotaan dan
masyarakat induatri. Bentuk bentuk yang khusus yang ads dalam setiap masyarakat
skan sangat berhubungan (erat kaitannya, dengan cars bagaimana masyarakat
yangbersangkutan terorganisasi. Sedangkan Merton, juga Cloward dan Ohllin (1974),
mengatakan bahwa sutu masyarakat, seperti masyarakat Ameriks misalnya,
meletakkan kebebasan sebagai suatu hadiah yang mahal, yang dapat membantu
kebiasaan-kebiasaan masyarakat untuk maju.
Salah satu hal utama yang dapat ditarik
intinya dari sekian respons yang positif adalah anggapan bahwa negera telah
berada dalam risiko yang mengerikan sebagai akibat tingkat keseriusan kejahatan
dan delinkuensi.
Empey dan Lamar (1974), mengungkapkan
hal ini secara lebih rinci, yaitu bahwa sebuah kata kiasan yang sangat disukai
adalah war of crime. Maksud yang terlandung di dalam kata kiasan
tersebut adalah sangat jelas. Ini merujuk kepada keadaan bahwa masyarakat
diancam bahaya yang serius dari adanya berbagai kekerasan yang merupakan akibat
dari tingkah laku pengrusakan. Hal ini memerlukan usaha-usaha yang lebih
ditingkatkan dan membutuhkan sumber-sumber daya yang tersedia di masyarakat
untuk menundukkan ancaman bahaya tersebut.